Thursday, November 11, 2010 / 4:00 AM
GEDUNG NEW MAJESTIC (AACC)
Majestic merupakan salah satu elemen tak terpisahkan dari kegemilangan jalan Braga masa lalu. Di pertengahan 1920-an, jalan yang awalnya di abad 18 hanya merupakan jalan pedati tersebut menjelma menjadi pusat pertokoan yang sangat bergengsi. Saat itu merupakan masa-masa keemasan bagi tuan-tuan Belanda pengelola perkebunan di seputar Bandung yang menikmati pertumbuhan ekonomi pesat. Sebagaimana lazimnya orang kaya yang selalu membutuhkan sarana untuk berbelanja, tumbuhlah pertokoan elit Eropa di jalan Braga tersebut. Segala macam perlengkapan kehidupan kalangan atas dapat ditemui di sana, mulai dari toko penjual senapan berburu hingga butik-butik mewah. Konon, segala macam mode baru yang muncul di Paris, dalam hitungan hari sudah dapat ditemui di Braga.
Suatu kompleks pertokoan modern belumlah lengkap jika tidak terdapat sarana hiburan, dan hiburan paling top pada saat itu, apalagi jika bukan bioskop, hiburan modern yang saat itu sedang naik daun. Maka direncanakanlah pembangunan suatu bioskop berkelas, yang representatif bagi kalangan atas saat itu.
Sebagaimana ciri khas rancangan Schoemaker lainnya, langgam arsitektural Gedung Majestic yang rampung tahun 1925 dianggap mewarisi semangat zamannya, sebagai bentuk pemberontakan terhadap “jajahan” aliran internasionalisme yang dinilai Schoemaker sebagai tidak efisien dan terlalu boros ornamen. Jawabannya ditemui dalam arsitektur Gedung Majestic yang mengandung elemen-elemen arsitektur dan seni ukir regional dipadu dengan teknik konstruksi modern dari barat, dengan tetap tidak kehilangan monumentalitasnya. Sebuah wacana baru yang dikembangkan saat itu, sebagai langgam klasik yang tidak merujuk kepada ornamentasi Yunani dan Romawi, namun sebaliknya menggalinya dari kekayaan khazanah arsitektur dalam negeri. Gedung Majestic, dengan garis-garis vertikal dan horizontal yang menonjol merupakan salah satu karya penting dari aliran Indo Europeeschen Architectuur Stijl yang turut menghidupkan kawasan Braga dan sekitarnya pada masa jayanya.
Menonton bioskop di masa jaya Majestic tahun 20-an tentu saja memiliki nuansa yang sangat berbeda dengan di masa kini. Promosi film dilakukan oleh pengelola bioskop dengan menggunakan kereta kuda sewaan, yang berkeliling kota membawa poster film dan membagi-bagikan selebaran. Masa itu, lewatnya kereta promosi ini merupakan hiburan yang menarik bagi anak-anak.
Pertunjukkan diadakan hanya pukul 19.30 dan 21.00. Mendekati saat tersebut, pelataran bioskop biasanya sudah ramai oleh berbagai kegiatan, mulai dari pedagang yang menawarkan barangnya hingga orkes yang disewa bioskop untuk memainkan lagu-lagu gembira penarik perhatian. Menjelang film dimulai, orkes mini yang biasanya terdiri atas alat musik biola, gitar, chelo dan tambur ini pindah ke dalam bioskop, untuk memberikan musik latar pada film yang dimainkan. Pertengahan tahun 20-an film bicara belum dikenal di Bandung, sehingga film harus ditingkahi oleh musik orkes beserta seorang “komentator”. Pemain-pemain orkes kerap ikut menjadi terkenal, selain karena ditonton banyak orang, juga skill musik yang dimiliki umumnya cukup tinggi. Maklumlah, permainannya harus sangat disesuaikan dengan cerita yang tengah berlangsung di layar.
Film yang diputar, jangan harap berjalan selancar sekarang. Proyektor yang ada hanya cukup untuk memutar satu reel film, yaitu rol film sepanjang sekitar 300 m. dengan durasi 15 menit. Bayangkan saja untuk film sepanjang satu setengah jam pastilah harus ada jeda lima kali sepanjang beberapa menit untuk mengganti reel. Untuk mengisi waktu, biasanya ditayangkan slide -waktu itu populer dengan sebutan “gambar mati”- reklame dari rekanan bioskop. Pada salah sebuah ruangan Gedung Majestic saat ini masih tersimpan proyektor sisa kejayaan masa lalu tersebut.
Masa itu, dengan alasan sopan santun penonton bioskop dibagi menjadi dua bagian, deret kanan dan kiri menurut jenis kelaminnya. Namun aturan yang longgar ini kerap dilanggar oleh pasangan yang telah menjalin ikatan suami istri, dengan alasan takut terpisah saat ramai-ramainya bubar bioskop.
Kegemilangan bioskop Majestic sempat bertahan beberapa dekade, hingga akhirnya mulai surut di tahun 80-an seiring dengan bermunculannya cineplex, konsep menonton bioskop yang lebih modern, dengan kemudahan memilih film dari beberapa yang ditayangkan secara bersamaan. Bertahun-tahun setelah itu Majestic semakin merana dengan hanya memutar film-film kelas rendahan yang hanya ditonton segelintir orang.
Tanpa harus terhanyut oleh nuansa sentimentil masa silam, revitalisasi gedung Majestic yang diubah menjadi Gedung Pertemuan dengan kualitas yang cukup baik ini kiranya cukup berarti sebagai pembawa pesan moral, bahwa tidak selalu kepentingan ekonomi komersial harus menindas aspek-aspek kebudayaan. Sebuah berita gembira bagi gedung-gedung bersejarah lainnya di kota Bandung maupun di kota-kota lain di Indonesia, yang menunggu uluran tangan kita untuk diselamatkan.
Snapshoot Gedung New Majestic (AACC):
pada masa lalu
pada saat ini
Labels: Gedung New Majestic (AACC)