Monday, December 13, 2010 / 7:00 AM
PANTI KARYA
Gedung tua ini berada di jalan Merdeka Bandung, tepanya di depan Mal Bandung Indah Plasa (BIP). Gedung tua ini berada di jalan Merdeka Bandung, tepanya di depan Mal Bandung Indah Plasa (BIP). Dulunya gedung ini bernama Panti Karya. Gedung "Panti Karya" adalah salah satu contoh arsitektur bersejarah yang didirikan tahun 1956, sebagai bangunan perkantoran Badan Sosial Pusat (BSP). BSP adalah salah satu organisasi anak perusahaan Jawatan Kereta Api yang bergerak dalam bidang kesejahteraan pegawai PJKA. Peresmian dilakukan oleh Menteri Muda Perburuhan Ahem Amingpradja, mewakili Perdana Menteri Ir. H.Djuanda pada waktu itu. Pada tahun 1970-an, bangunan ini digunakan sebagai gedung bioskop yang sangat populer bagi masyarakat Kota Bandung. Dengan balkonnya yang sangat indah, dapat menampung lebih dari 200 kursi penonton.
PADA era tahun 1970-1980-an, Jln. Merdeka terasa memesona, bahkan pada malam hari menjadi kawasan tempat "menikmati" Bandung seutuhnya, santai dan tenang. Di sudut perempatan Merdeka - Riau (Martadinata) ada jajanan yang mangkal hanya pada malam hari, di situlah kaum muda berkumpul dan bercengkerama. Ada perasaan rindu akan masa itu, namun banyak ikon kenangan yang sudah hilang, segalanya berubah, berpindah, hanya satu yang masih eksis dalam kesendirian yang getir yaitu Gedung Panti Karya yang kini bernasib tragis, compang-camping, dekil, muram, dan seram.
Padahal di era itu, gedung ini megah dan asri. Halamannya bersih ditutupi pasir hitam, di sebelah kiri gedung ada taman bunga yang apik, di situ berdiri patung perunggu Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, dengan uniform lengkap mengepit tongkat dalam sikap sempurna.
Lantai dasar ada bioskop Panti Karya, lantai dua dipakai perkantoran, lantai tiga ada Akademi Akuntansi, pada lantai empat dan lima ada stasiun radio swasta di mana saya beraktivitas. Sepengetahuan saya, gedung ini adalah milik Yapenka, yang pada periode itu dipimpin oleh Bapak Ir. Santoso, amat terawat, pikabetaheun.
Sekarang saya kadang parkir di situ, hati suka terusik, ke manakah gerangan patung sang pahlawan, apakah beliau dengan jiwa kepahlawanannya telah rela eksodus demi keangkuhan oligarki materi, ataukah beliau tersingkir, karena logika ekonomi memvonis bersalah, sebab beliau berdiri di tempat parkir? Entahlah, yang jelas Panti Karya menjadi panti kesedihan, metafora dari sebuah tirani budaya, ekspresi buram dari potret diri, bagaimana sebuah komunitas mengapresisi karya pendahulunya.
Sementara kini di lantai dasar ada gebyar erotisme jajanan modern, dalam gemerlap yang membius, sehingga menekuk muka siapa pun, untuk tak menyaksikan tumbuhan liar di sela jendela, cengkerama tikus dengan makhluk halus, atau pekikan burung-burung kecil pemakan cacing.
Padahal, rasanya tak begitu sulit untuk merawat Panti Karya, menjadi "senonoh" dalam ketuaannya, seandainya yang terkait dan pengguna jasa gedung itu ada partisipasi konkret, terlepas dari "kenapa" dan "ada apa dengan Panti Karya", sebab, betapa kontradiksi ekstrem ini, akan memberi saham bagi akumulasi kekesalan dan kecemburuan, selebihnya cemoohan terhadap Parisj' van Java ini.
Mungkin orientasi kita kian bergeser, uang telah menjadi obsesi hidup, meredupkan apresiasi logis terhadap kepahlawanan, keindahan, ketenteraman, padahal norma-norma itu, serpihan dari refleksi moral sebuah komunitas. Bila penikmat jajanan modern di situ takut gedungnya runtuh, sang pahlawan khawatir nilai-nilkai kepribadian kita akan runtuh.
Snapshoot Panti Karya:
pada masa lalu
pada saat ini
Labels: Panti Karya