Sunday, December 12, 2010 / 1:00 AM
GEDUNG SWARHA ISLAMIC
Mewakili gaya arsitektur klasik, electicism dengan banyak dekorasi. Gedung Swarha dibangun antara tahun 1930-1935 oleh arsitek Belanda, Wolff Schoemaker.
Gedung Swarha di Jl Asia-Afrika dibangun pada tahun 1955 di bekas lokasi Toko Tokyo yang dibangun 1914 dan dibumihanguskan pada 1940an. Swarha menjadi penginapan para tamu dan wartawan Konferensi Asia-Afrika pertama. Gedung ini yang berlantai empat dan memiliki 16 kamar bergaya arsitektur “Streamline Moderne” yang sudah tidak modern lagi pada saat itu. Gedung berwarna kue lapis hitam-putih. Kala itu, gedung bernama “Swarha Islamic”. Gedung ini milik pak Swarha, seorang keturunan Arab yang terkenal sebagai pengusaha kaya di Bandung jaman dulu.
Sejak dibangun gedung ini punya permasalahan dengan fondasinya, gedungnya agak miring sedikit. Sekarang kondisi gedung Swarha sangat menyedihkan. Sebuah mesjid dengan menarah gede yang sangat jelek dibangun di depan Swarha. Dalam waktu singkat, gedung Swarha akan dirombak dan digunakan untuk pusat belajar Islam. Tiga lantai teratas gedung itu akan dihancurkan sehingga tinggal tersisa dua lantai saja.
Swarha Islamic adalah salah satu dari 14 hotel yg terpilih sela ma KAA, lainnya adalah Savoy Homann, Hotel Preanger, dan Hotel Astoria (sudah tidak ada), dan Hotel Braga.
Saat ditemui disalah satu toko yang berada dibawah gedung, pemiliknya enggan menjelaskan bagaimana kondisi ataupun sejarah gedung ini lebih jauh hingga akhirnya kami pun mendapatkan dari berbagai sumber di dunia maya untuk mengetahui bagaimana kondisi dan juga sejarah gedung Swarha ini.
Menurut keterangan, sampai tahun 1965, gedung Swarha itu adalah hotel dan setelah tahun 1965 gedung tersebut dibiarkan kosong hingga kemudian lantai dasar gedung tersebut menjadi toko sampai dengan sekarang walaupun lantai atas gedung tersebut dibiarkan kosong.
Gedung ini terdiri dari empat lantai, dengan lantai dasarnya sebagia tempat berjualan pemilik toko. Untuk menuju lantai satu terdapat tangga yang konon belum pernah diganti sejak gedug Swarha itu dibangun. Dilantai satu terdapat pintu kamar dengan kamar no 101. Benar-benar memang Swarha ini adalah sebuah hotel dulunya. Para jurnalis peliput KAA tahun 1955 pernah menginap di ex-hotel ini.
Lantai satu difungsikan sebagai gudang stok barang jualannya toko Indra. Ruangannya pengap, lembab, gelap, kelam, dan banyak tumpukan barang. Lalu naik ke lantai dua, ruangannya cenderung tidak banyak berubah. Hanya kosong saja. Dilanjut ke lantai tiga. Lantai ini paling bersih. Lantai paling cantik tapi palsu, di lantai ini pernah dijadikan tempat shooting film Love Is Cinta, pantas saja jendelanya masih utuh dikarenakan sempat adanya renovasi.
Terakhir, dilantai empat lantai paling berantakan dan tidak terawat. Jendelanya sudah pada pecah & pecahannya berserakan disana-sini. Ada sarang burung. Berada di lantai empat rasanya seperti berada dilokasi kebakaran. Tapi lantai empat memiliki ruangan yang cukup terang dibandingkan lantai dua dan tiga.
Dahulu Gedung Swarha Islamic ini dipergunakan sebagai penginapan. Pada 1955 ketika Konferensi Asia Afrika gedung ini difungsikan sebagai penginapan para tamu negara dan wartawan yg sengaja dipilih berdekatan dgn kantor pos.
Para jurnalis yang meliput Konferensi Asia Afrika tahun 1955 seperti Rosihan Anwar pernah menginap di hotel ini. Kini, hanya lantai bawah gedung yang dimanfaatkan untuk toko. Sedangkan empat lantai lainnya dibiarkan tak berfungsi.
Menurut Dr.Roeslan Abdulgani, dalam buku berjudul The Bandung Connection, bungalo yang disediakan bagi peserta KAA ada di Jalan Cipaganti, Lembang, dan Ciumbuleuit.
Dalam buku yang sama disebutkan, disediakan 1.700 petugas keamanan dari Corps Polisi Militer (CPM) dan prajuritnya untuk menjaga tamu negara. Setidaknya 1.500 tamu diundang pada KAA tahun 1955 dengan wartawan yang datang sebanyak 500 orang. Walaupun, yang tercatat hanya 377 wartawan, terdiri dari 214 wartawan luar negeri dan hanya 163 wartawan dari Indonesia.
Untuk mobilitas, panitia menyediakan 143 mobil sedan dan 30 taksi. Khusus untuk wartawan disediakan kendaraan bus sebanyak 20 unit. Untuk para wartawan, panitia juga menyediakan markas kerja di penginapan Swarha Islamic. Penginapan ini berlantai empat. Lantai pertama tidak memiliki kamar, sementara di lantai kedua hingga keempat, masing-masing memiliki delapan kamar.
Menurut Taufik Rahzen dari The Asia Afrika Academy, lembaga pengkaji Asia-Afrika, penginapan Swarha Islamic yang berada di Jalan Raya Timur-sekarang Jalan Asia Afrika-ini dipilih karena berada di seberang kantor pos besar sehingga memudahkan para wartawan pada masa itu mengirimkan berita lewat telegram.
Untuk mempercepat proses pengiriman berita, kantor pos menambah kapasitas pengiriman telegram dari 100 kata menjadi 200 kata. Kisah kehidupan dalam penginapan Swarha Islamic selama pelaksanaan KAA juga ditulis dalam buku karya wartawan Perancis, Arthur Conte, berjudul Bandoeng, Tournat de l'Histoire (Bandung, Titik Balik dalam Sejarah-Red)
Arthur mengisahkan, markas wartawan itu sangat sempit. Wartawan bekerja berdesak-desakan padahal sudah kelelahan. Harian Merdeka, edisi 20 April 1955 menggambarkan betapa lelahnya meliput KAA tahun 1955. Di Gedung Merdeka disediakan balkon sebagai tempat wartawan meliput sidang-sidang yang dilakukan para delegasi dari negara Asia dan Afrika untuk membahas suatu masalah. Siang hari saat suhu makin panas, para delegasi tampak bersidang dengan lesu. Di atas balkon, wartawan pun banyak yang tertidur pulas. Beberapa wartawan yang tinggal di gedung itu, yang pada zamannya cukup fenomenal, yaitu Arthur Conte yang kemudian berstatus sebagai Presiden Majlis Uni-Eropa tentang Peradaban Barat. Swarha Islamic juga pernah ditinggali penulis kenamaan dari Amerika, Richard Wright. Saat meliput KAA tahun 1955, Richard berusia 47 tahun.
Menurut sebuah situs tentang Richard, lelaki keturunan Afrika-Amerika itu pernah berkali-kali dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel. Di usia 30 tahun, Richard menulis buku Uncle Tom's Cabin cerita anak-anak berlatar rasialisme.
Dua tahun kemudian, ia menulis Native Son yang bercerita tentang perlawanan Afrika-Amerika melawan kondisi sosial-politik yang rumit di Chicago, Amerika Serikat. Setelah pulang dari meliput KAA, Richard menulis buku The Color Curtain, A Report on The Bandung Conference tahun 1956. Lima tahun setelah KAA tahun 1955, dia meninggal dunia.
Jurnalis Indonesia yang pernah bekerja di gedung Swarha Islamic di antaranya juga pembuat sejarah di dunia jurnalistik. Ada Mochtar Lubis, wartawan yang pernah dipenjara oleh Pemerintah Orde Lama, Mochtar pernah bekerja di Kantor Berita Antara, lalu mendirikan surat kabar Indonesia Raya tahun 1949.
Mochtar Lubis, yang saat KAA tahun 1955 berusia 33 tahun, juga terkenal sebagai koresponden perang. Tahun 1950 dia meliput Perang Korea Utara dan Korea Selatan. Selain Mochtar, wartawan senior, Rosihan Anwar, yang pernah menjadi reporter Asia Raya tahun 1943 juga tinggal di gedung tersebut saat meliput KAA. Dia pernah menjadi redaktur harian Merdeka, Pemimpin Redaksi Majalah Siasat, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Pedoman pada tahun 1961. Di gedung itu pula sastrawan penulis novel Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana, Sudjatmoko, dan Syahrir. Di gedung ini berita tentang KAA tersiar ke berbagai dunia.
Menurut keterangan bangunan ini pernah mau dibeli oleh Pemerintah Kota sebesar 25 miliar. Pemkot berencana meratakan SWARHA demi memperluas lahan bangunan Masjid Agung. Sang owner menawar 40 M aja, tapi Pemkot tidak sanggup membayar. Akhirnya, seperti inilah nasib gedung Swarha Islamic kini, tidak terawatt. Tadinya pemilik gedung ini berniat untuk mengembalikan fungsi Swarha seperti aslinya dulu: Hotel. Tetapi, izinnya tidak keluar karena alasan lokasi Swarha yang bersebelahan dengan masjid.
Snapshoot Gedung Swarha Islamic:
pada saat ini
pada masa lalu
Labels: Gedung Swarha Islamic